Internalisasi , Belajar, dan Spesialisasi.
Ketiga kata atau istilah internalisasi, belajar, dan spesialisasi pada dasarnya memiliki pengertian yang hampir sama. Proses berlangsungnya sama yaitu melalui interaksi sosial. Istilah internalisasi lebih ditekankan pada norma-norma individu yang menginternalisasikan norma-norma tersebut, atau proses norma-norma kemasyarakatan yang tidak berhenti sampai institusional saja, akan tetapi norma tersebut mendarah daging dalam jiwa anggota masyarakat. Norma tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu norma yang mengatur pribadi (mencakup norma kepercayaan dan kesusilaan) dan norma yang mengatur hubungan pribadi (mencakup kaidah kesopanan dan kaidah hukum).
Istilah belajar ditekankan pada perubahan tingkah laku, yang semula tidak dimiliki sekarang telah dimiliki oleh seorang individu, atau perubahan sikap dari tidak tahu menjadi tahu, dimana belajar dapat berlangsung di lingkungan maupun di lembaga pendidikan.
Istilah spesialisasi ditekankan pada kekhususan yang telah dimiliki atau diukur oleh seorang individu, kekhususan timbul melalui proses yang agak panjang dan lama.
Istilah belajar ditekankan pada perubahan tingkah laku, yang semula tidak dimiliki sekarang telah dimiliki oleh seorang individu, atau perubahan sikap dari tidak tahu menjadi tahu, dimana belajar dapat berlangsung di lingkungan maupun di lembaga pendidikan.
Istilah spesialisasi ditekankan pada kekhususan yang telah dimiliki atau diukur oleh seorang individu, kekhususan timbul melalui proses yang agak panjang dan lama.
Pengertian Proses Sosialisasi
Dalam setiap masyarakat akan dijumpai suatu proses pembelajaran seorang individu dalam masyarakat tersebut, misalnya seorang anak mempelajari nilai-nilai- dan norma-norma tempat dia menjadi anggota masyarakat. Proses ini disebut sosialisasi. Sosialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses social yang terjadi bila seseorang menghayati dan melaksanakan norma=norma kelompok tempat ia sehingga ia aka merasa sesbagai bagian dari kelompok itu. Dipandang dari sudut kepentingan individu, sosialisasi adalah suatu proses social yang tejadi bila seseorang individu mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan perilaku kelompok sosialnya.
Individu dalam masyarakat dengan budaya yang berbeda akan mengalami proses sosialisasi yang berbeda karena proses sosialisasi itu banyak ditentukan oleh susunan kebudayaan dan ligkungan social yang bersangkutan.
Ada beberapa hal yang harus dilalui oleh seorang individu (anak ) dalam proses sosialisasi. Pada tahap awal seorang anak akan belajar dengan lingkungn masyarakat terdekatnya yaiu ayah, ibu, kakek dan neneknya yang tinggal serumah. Dalam lingkungan ini si anak belajar menanamkan segala perasaan, emosi, dan sebagainya yang sesuai dengan kemampuan biologisnya dalam kepribadianya. Kemudian seiring dengan pertumbuhannya, si anak mulai belajar kebiasaan lain seperti cara makan, tidur pada saat yang tepat. Selanjutnya, si anak mulai mengenl lingkungan social yang lebih luas seperti tetangga, teman bermain, dan sebagainya. Pada tahapan ini si anak belajar emosi, perasaan nafsu yang dibutuhkannya, belajar aturan, da pola tindakan yang umunya dalam linkungan socialnya.
Proses social ini akan terus berlangsung sepanjang hayat si anak /individu. Seorang individu dalam kehidupan masyarakatnya akan selalu belajar kebudayaan melalui proses-proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi secara bersamaan.
Studi kasus :
Kekerasan pada anak- Pada dasarnya saya tidak mau menikah. Saya ingin bebas. Namun, saat orangtua memaksa saya menerima pinangan dari pemuda yang tadinya menginginkan kakak saya, saya tidak kuasa menolak.
Hari-hari persiapan perkawinan dan saat perkawinan, perasaan saya gundah dan tidak enak. Setelah satu tahun perkawinan, anak pertama saya lahir, laki-laki sekarang berusia 2 tahun 5 bulan. Tiba-tiba saya sering benci melihat anak itu dan saya pukuli. Bahkan, kalau ia rewel dan tidak menuruti kemauan saya, saya tidak kuasa menahan keinginan untuk lari dari rumah.
Pada suatu hari, ketika suami saya di kantor, saya pukuli anak itu dan saya kabur dari rumah. Saya meninggalkan anak itu sendiri di rumah. Namun, dalam perjalanan menuju stasiun bus yang bisa membawa saya pulang ke rumah orangtua, saya sadar dan timbul rasa kasihan kepada anak sehingga saya kembali ke rumah. Melihat anak itu sedang menangis sendirian, saya merasa kasihan dan memeluknya, serta menyadari kesalahan saya.
Saya menyesali tindakan saya, tetapi sering tidak kuasa untuk mengendalikan keinginan memukuli anak itu. Ibu, saya tidak bisa seperti ini terus. Kasihan anak saya. Saya merasa tidak cukup punya cinta kepada anak dan suami. Saya ingin cerai, Bu.
K (28 tahun)
Dinamika intrapsikis
Dinamika intrapsikis adalah suatu kondisi psikologis dalam (depth psychology) yang bergejolak dalam diri seseorang. Kondisi itu dan menjadi sumber penyebab munculnya perilaku yang tidak diinginkan orang itu sendiri. Apakah gerangan yang menyebabkan ibu kandung sekejam itu, sementara suaminya adalah seorang suami yang mencintainya, baik, dan sabar?
Masalahnya, dinamika intrapsikis ini tidak disadari oleh yang bersangkutan dan berawal, antara lain, dari pola asuh masa lalunya. K adalah anak bungsu dari empat bersaudara kandung yang perempuan semua. Ayahnya adalah seorang guru di kampungnya dan dikenal sebagai tokoh yang baik pekertinya.
Rupanya tersirat keinginan untuk mendidik anak-anak perempuannya dengan baik sehingga sikap terhadap anaknya amat keras. Bila menasihati anaknya, ia bisa berlama-lama. Selama dia memberi nasihat, anak harus tinggal diam di hadapannya tanpa boleh membantah.
Bila harus menghadapi nasihat ayah seperti itu, K akan terdiam, tetapi sangat marah. K memendam kata-kata ingin melawan ayah, tetapi tidak berani melontarkannya. Hubungan K dengan ayah dirasa K memang sangat buruk, bahkan bila mendengar suara motor ayah masuk halaman dia sudah berdebar-debar ketakutan.
Walaupun kemudian dia berpikir, ”Kenapa harus deg-degan?” Pernah K berbuat kesalahan kecil, tetapi dikejar oleh ayahnya untuk mendapat hukuman. K bersembunyi di atas tempat tidur tingkat. Ayahnya tidak naik ke tempat tidur, tetapi K dilempari dengan sepatu hak tinggi milik kakaknya. K disuruh turun dari tempat tidur. Sekitar dua jam ia dimarahi dan dinasihati berulang kali dengan kata-kata yang sama.
Ibunya pun tidak pandai menghargai diri sendiri dan kadang tidak berbuat tepat dalam keadaan tertentu serta berdaya menghadapi sikap ayah yang otoriter tersebut. K merasa rasa kasih dan cinta tidak pernah dirasakannya. K lebih sering tampil terdiam, terkesan seperti anak manis. Padahal, dalam hati ia merasa gejolak amarah dan benci begitu intensnya. K menjadi terbiasa dengan sikap tersebut.
Rasa bersalah
Dari hasil pemeriksaan psikologi, muncul gejala rasa bersalah yang sangat mendalam terutama bila K menerima sikap baik dan penuh kasih dari suami. Pengalaman relasi dengan ayah yang sangat buruk tersebut membuat K mengalami hambatan dalam perkembangan relasi sosial dengan lawan jenis. Selama pemeriksaan psikologi, muncul ungkapan rasa benci terhadap ayah dan rasa salah yang besar terhadap diri sendiri seperti:
”Saya ingin ayah saya menyadari bahwa dia salah dan dia bukan orang yang bijaksana.”
”Ayahku menyebalkan.”
”Kalau saya mengalami nasib malang, itu karena andil ayah saya.”
”Ayah palsu, di luar rumah dikenal baik, tetapi sesungguhnya dengan keluarga sendiri
sangat kejam.”
”Kesalahan yang terbesar adalah menikah.”
”Hal terburuk yang pernah saya lakukan adalah saya menikah. Saya tidak berhasil mencintai suami dan anak saya.”
Sulit bagi K meraih kenyamanan kasih yang diberikan oleh suaminya. Oleh karena itu, K merasa gagal dan tidak memiliki kemampuan untuk memberikan kasih dan cinta kepada suami, bahkan kepada anak laki-lakinya sendiri.
Situasi ini membuat K merasa marah dan benci kepada diri sendiri dan memunculkan rasa salah yang tiada terkira sehingga muncul keinginan untuk melarikan diri, bercerai, dan meninggalkan suami dan anaknya. Namun, suami tidak pernah menyetujui usul cerai K dan bahkan berupaya untuk lebih menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya.
Rasa salah dan kemarahan kepada diri sendiri tersebut semakin besar dan sering memicu tindak kekerasan yang tidak terkendali terhadap anaknya.
Hari-hari persiapan perkawinan dan saat perkawinan, perasaan saya gundah dan tidak enak. Setelah satu tahun perkawinan, anak pertama saya lahir, laki-laki sekarang berusia 2 tahun 5 bulan. Tiba-tiba saya sering benci melihat anak itu dan saya pukuli. Bahkan, kalau ia rewel dan tidak menuruti kemauan saya, saya tidak kuasa menahan keinginan untuk lari dari rumah.
Pada suatu hari, ketika suami saya di kantor, saya pukuli anak itu dan saya kabur dari rumah. Saya meninggalkan anak itu sendiri di rumah. Namun, dalam perjalanan menuju stasiun bus yang bisa membawa saya pulang ke rumah orangtua, saya sadar dan timbul rasa kasihan kepada anak sehingga saya kembali ke rumah. Melihat anak itu sedang menangis sendirian, saya merasa kasihan dan memeluknya, serta menyadari kesalahan saya.
Saya menyesali tindakan saya, tetapi sering tidak kuasa untuk mengendalikan keinginan memukuli anak itu. Ibu, saya tidak bisa seperti ini terus. Kasihan anak saya. Saya merasa tidak cukup punya cinta kepada anak dan suami. Saya ingin cerai, Bu.
K (28 tahun)
Dinamika intrapsikis
Dinamika intrapsikis adalah suatu kondisi psikologis dalam (depth psychology) yang bergejolak dalam diri seseorang. Kondisi itu dan menjadi sumber penyebab munculnya perilaku yang tidak diinginkan orang itu sendiri. Apakah gerangan yang menyebabkan ibu kandung sekejam itu, sementara suaminya adalah seorang suami yang mencintainya, baik, dan sabar?
Masalahnya, dinamika intrapsikis ini tidak disadari oleh yang bersangkutan dan berawal, antara lain, dari pola asuh masa lalunya. K adalah anak bungsu dari empat bersaudara kandung yang perempuan semua. Ayahnya adalah seorang guru di kampungnya dan dikenal sebagai tokoh yang baik pekertinya.
Rupanya tersirat keinginan untuk mendidik anak-anak perempuannya dengan baik sehingga sikap terhadap anaknya amat keras. Bila menasihati anaknya, ia bisa berlama-lama. Selama dia memberi nasihat, anak harus tinggal diam di hadapannya tanpa boleh membantah.
Bila harus menghadapi nasihat ayah seperti itu, K akan terdiam, tetapi sangat marah. K memendam kata-kata ingin melawan ayah, tetapi tidak berani melontarkannya. Hubungan K dengan ayah dirasa K memang sangat buruk, bahkan bila mendengar suara motor ayah masuk halaman dia sudah berdebar-debar ketakutan.
Walaupun kemudian dia berpikir, ”Kenapa harus deg-degan?” Pernah K berbuat kesalahan kecil, tetapi dikejar oleh ayahnya untuk mendapat hukuman. K bersembunyi di atas tempat tidur tingkat. Ayahnya tidak naik ke tempat tidur, tetapi K dilempari dengan sepatu hak tinggi milik kakaknya. K disuruh turun dari tempat tidur. Sekitar dua jam ia dimarahi dan dinasihati berulang kali dengan kata-kata yang sama.
Ibunya pun tidak pandai menghargai diri sendiri dan kadang tidak berbuat tepat dalam keadaan tertentu serta berdaya menghadapi sikap ayah yang otoriter tersebut. K merasa rasa kasih dan cinta tidak pernah dirasakannya. K lebih sering tampil terdiam, terkesan seperti anak manis. Padahal, dalam hati ia merasa gejolak amarah dan benci begitu intensnya. K menjadi terbiasa dengan sikap tersebut.
Rasa bersalah
Dari hasil pemeriksaan psikologi, muncul gejala rasa bersalah yang sangat mendalam terutama bila K menerima sikap baik dan penuh kasih dari suami. Pengalaman relasi dengan ayah yang sangat buruk tersebut membuat K mengalami hambatan dalam perkembangan relasi sosial dengan lawan jenis. Selama pemeriksaan psikologi, muncul ungkapan rasa benci terhadap ayah dan rasa salah yang besar terhadap diri sendiri seperti:
”Saya ingin ayah saya menyadari bahwa dia salah dan dia bukan orang yang bijaksana.”
”Ayahku menyebalkan.”
”Kalau saya mengalami nasib malang, itu karena andil ayah saya.”
”Ayah palsu, di luar rumah dikenal baik, tetapi sesungguhnya dengan keluarga sendiri
sangat kejam.”
”Kesalahan yang terbesar adalah menikah.”
”Hal terburuk yang pernah saya lakukan adalah saya menikah. Saya tidak berhasil mencintai suami dan anak saya.”
Sulit bagi K meraih kenyamanan kasih yang diberikan oleh suaminya. Oleh karena itu, K merasa gagal dan tidak memiliki kemampuan untuk memberikan kasih dan cinta kepada suami, bahkan kepada anak laki-lakinya sendiri.
Situasi ini membuat K merasa marah dan benci kepada diri sendiri dan memunculkan rasa salah yang tiada terkira sehingga muncul keinginan untuk melarikan diri, bercerai, dan meninggalkan suami dan anaknya. Namun, suami tidak pernah menyetujui usul cerai K dan bahkan berupaya untuk lebih menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya.
Rasa salah dan kemarahan kepada diri sendiri tersebut semakin besar dan sering memicu tindak kekerasan yang tidak terkendali terhadap anaknya.
Opini :
Kekerasan pada anak seharusnya tidak boleh dilakukan, karena anak adalah titpan sang pencipta yang harus dipelihara hingga ia tumbuh besar.dalam keluarga permasalahan itu pasti ada, tetapi alangkah baiknya jika diselesaikan dengan cara yang baik dan tidak melukai siapapun apalagi anak, karena itu akan mempengaruhi keadaan psikologis pada anak itu sendiri.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar