Pengembangan organisasi (PO) sebagai suatu disiplin
perubahan perencanaan yang menekankan pada penerapan ilmu pengetahuan dan
praktek keperilakuan untuk membantu organisasi-organisasi mencapai efektivitas
yang lebih besar. Para manajer dan staf ahli harus bekerja dengan dan melalui
orang-orang untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dan PO dapat membantu mereka
membentuk hubungan yang efektif di antara mereka. Di dalam menghadapi
akselerasi perubahan yang semakin cepat, PO diperlukan untuk bisa mengatasi
konsekuensi-konsekuensi dari perubahan tersebut.
Sejarah pengembangan organisasi ditunjukkan oleh
lima latar belakang/batang: pelatihan laboratorium, umpan balik survei, riset
tindakan, produktivitas dan kualitas kehidupan kerja, serta perubahan
strategik. Pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam sejumlah deversitas
pendekatan PO, praktisi, dan keterlibatan organisasi membuktikan sehatnya suatu
disiplin dan menawarkan suatu prospek yang menguntungkan di waktu mendatang.
Para
Pelaku Pengembangan Organisasi
Pengembangan organisasi (PO) diterapkan kepada tiga
jenis manusia: spesialisasi individu di dalam PO sebagai profesi, orang-orang
dari lapangan yang terkait, yang telah mencapai sejumlah kompetensi di dalam
PO, dan para manajer yang memiliki keahlian PO yang diperlukan untuk perubahan
dan mengembangkan organisasi atau departemen mereka.
Peranan profesional PO dapat diterapkan terhadap
konsultan internal, yang memiliki organisasi yang sedang mengalami perubahan,
dan terhadap konsultan eksternal yang menjadi anggota universitas dan
perusahaan konsultan atau bekerja sendiri, serta terhadap anggota tim konsultan
internal-eksternal. Peranan PO akan dideskripsikan secara tepat didalam istilah
marjinalitas. Orang-orang yang berorientasi pada marjinalitas nampak khususnya
beradaptasi untuk peran PO, karena mereka dapat menjaga kenetralan dan objektivitas
serta mengembangkan solusi yang integratif yang mengakurkan titik pandang
antara departemen-departemen oposisi. Sementara peranan PO di masa lalu telah
dideskripsikan sebagai ujung klien dari suatu kontinum mulai dari fungsi
clien-centered kepada consultant-centered. Pengembangan intervensi baru dan
beraneka ragam telah menggeser peranan profesional PO meliputi keseluruhan
rentang dari kontinum tersebut.
Walaupun masih menjadi suatu kemunculan profesi,
sebagian besar profesional PO memiliki pelatihan khusus didalam PO, terbentang
dari kursus-kursus jangka pendek dan workshop-workshop, serta pendidikan master
dan doktor. Tidak ada jalur karir tunggal, namun demikian konsultan internal
sering digunakan sebagai batu loncatan untuk menjadi konsultan eksternal.
Nilai telah memainkan peran kunci di dalam PO, dan
nilai-nilai tradisional mendukung kepercayaan, kerja sama, dan kejujuran yang
pada akhir-akhir ini telah dilengkapi dengan nilai-nilai keefektifan dan
produktivitas organisasional. Spesialis PO akan menghadapi dilema nilai dalam
rangka mencoba untuk bekerja sama mengoptimalkan keuntungan sumber daya manusia
dan kinerja organisasi. Mereka juga akan menjumpai konflik nilai ketika
berhadapan dengan stakeholder eksternal yang penuh kekuatan, seperti pemerintah,
pemegang saham, dan pelanggan. Berhadapan dengan kelompok dari luar tersebut
akan memerlukan keahlian politik, begitu juga keahlian sosial tradisional yang
lebih baik.
Issue-issue yang berkaitan dengan etika di
dalam PO melibatkan bagaimana para praktisi melaksanakan peran bantuan mereka
dengan klien. PO senantiasa menunjukkan perhatiannya terhadap pelaksanaan yang
berkaitan dengan etika para praktisi, dan pada akhir-akhir ini sebuah kode yang
berkaitan dengan etika untuk praktek PO telah dikembangkan oleh berbagai macam
asosiasi profesional di dalam PO. Issu-issu yang berkaitan dengan etika di
dalam PO cenderung untuk muncul di sekitar issue-issue berikut ini: pemilihan
intervensi, menggunakan informasi, menahan servis, ketergantungan klien, pemilihan
partisipasi, dan memanipulasi klien.
KARAKTERISTIK PEMBANGUNAN
Pengertian pembangunan
Pada
umumnya setiap orang tentu menginginkan keadaan yang lebih baik dari keadaannya
sekarang, untuk semua aspek kehidupannya. Meskipun demikian
pengertian kehidupan yang lebih baik ini mungkin sekali akan berbeda-beda pada
setiap orang. Perbedaan ini merupakan refleksi dari perbedaan dalam
kebutuhannya masing-masing. Sebagai contoh, orang yang telah memiliki
rumah tinggal yang memadai dan tingkat konsumsi yang cukup, mungkin ingin
memperbaiki kehidupannya dengan memiliki alat transportasi yang baik dan nyaman
untuk keluarganya. Sebaliknya bagi keluarga yang masih belum mampu
memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari, perbaikan yang dinginkan adalah
berupa kecukupan pangan bagi mereka sekeluarga.
Setiap orang dengan
caranya masing-masing tentu ingin mendayagunakan segala sumberdaya, aset, dan
kemampuannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Limpahan
sumberdaya yang diterima (resource
endowment), jumlah aset yang dikuasai, dan kemampuan yang dimiliki oleh
setiap orang dan setiap golongan masyarakat tidaklah sama. Ini akan
berimplikasi pada kemampuan orang atau golongan masyarakat tersebut untuk
mencapai tujuan mereka dalam rangka memperbaiki aspek-aspek kehidupannya. Sesungguhnya usaha untuk menerapkan kemampuan dalam
pengelolaan sumberdaya dan aset yang dimiliki untuk mencapai keadaan yang lebih
baik adalah merupakan aktifitas pembangunan. Kemampuan mengelola,
ketersediaan sumberdaya, dan jumlah aset yang dimiliki dengan demikian merupakan
tiga faktor utama yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pembangunan.Semakin
tinggi kemampuan mengelola akan membuat semakin banyak alternatif-alternatif
yang dapat dikembangkan untuk melaksanakan pembangunan. Demikian juga
dalam hal sumberdaya, semakin banyak sumberdaya yang dikuasai dan semakin besar
tingkat penguasaan terhadap sumberdaya tersebut, akan semakin besar pula
peluang pembangunan yang dilaksanakan akan berhasil dengan lebih baik. Dalam
hal jumlah aset, kecenderungannya adalah bahwa semakin banyak aset yang
dikuasai (misalnya dukungan infrastruktur, sarana, dan prasarana) akan semakin
mudah mewujudkan rencana dalam pelaksanaan pembangunan.
Pengertian kemampuan
di atas mencakup kemampuan dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan,
dan teknologi. Untuk setiap aktifitas pembangunan mulai dari yang paling
sederhana, misalnya aktifitas nelayan kecil mengail ikan, sampai aktifitas
pembangunan yang kompleks misalnya usaha negara-negara anggota Uni Eropa untuk
membangun suatu sistem perekonomian yang akan memperkuat posisi mereka dalam
relasi perdagangan international, semuanya membutuhkan kemampuan dalam tiga
aspek tersebut di atas.
Untuk mengail ikan
nelayan memerlukan pengetahuan sederhana tentang perlengkapan pancing, jenis
umpan yang dapat digunakan, dan lokasi yang kemungkinan banyak ikannya. Nelayan
ini juga memerlukan keterampilan untuk mengangkat pancing, sehingga ikan yang
telah mematuk umpan tidak sampai terlepas. Nelayan ini juga menerapkan
teknologi sederhana bagaimana matakail dibuat dan digunakan agar dapat membantu
meningkatkan produktifitasnya dalam mengail. Demikian juga halnya dengan
kolaborasi negara-negara anggota Uni Eropa. Mereka memerlukan ilmu
pengetahuan dalam bidang ekonomi dan perdagangan international, sehingga dapat
memformulasikan sistem transaksi yang dapat diandalkan (reliable). Mereka memerlukan keterampilan negosiasi untuk
mewujudkan maksud mereka, tidak saja agar diterima oleh negara-negara anggota,
melainkan juga untuk sosialisasi rencana dan program mereka agar tidak
mendapatkan tantangan dari negara-negara lain di dunia. Mereka juga
memerlukan teknologi pendukung untuk mewujudkan maksud mereka, misalnya berupa
teknologi monitoring dan komunikasi yang sangat penting bagi keberlangsungan
proyek mereka.
Contoh di atas
menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan, keterampilan dan teknologi merupakan suatu
kelompok faktor yang berpengaruh besar terhadap keberhasilan pelaksanaan
pembangunan. Tidak perduli apakah itu untuk upaya pembangunan sederhana
yang bersahaja, atau untuk upaya pembangunan yang rumit dan kompleks.
Sumberdaya untuk
pembangunan umumnya dibedakan atas: sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya manusia (human resources), sumberdaya modal (capital), dan sumberdaya berupa teknologi. Modal dan teknologi
sering juga digolongkan sebagai sumberdaya buatan (man made resources).Sumberdaya alam meliputi misalnya lahan,
bahan tambang (minyak, batu bara), hutan dan sebagainya.
Dalam aktifitas pembangunan beberapa
ahli percaya bahwa berbagai jenis sumberdaya tersebut berbeda-beda
kedudukannya, sesuai dengan kontribusinya masing-masing terhadap aktivitas
pembangunan. Keterbatasan pemilikan lahan bukan faktor yang sifatnya
kritis yang menyebabkan kemiskinan. Faktor kritis (critical factor) penyebab kemiskinan adalah rendahnya kualitas
sumberdaya manusia. Peningkatan kualitas populasi dan investasi pendidikan
sangat penting untuk upaya-upaya pembangunan dan pengentasan kemiskinan di
suatu wilayah.
Dalam faktor-faktor
penentu keberhasilan pembangunan, sumberdaya manusia bersama-sama teknologi
dipisahkan dari kelompok sumberdaya, dan digolongkan dalam kelompok lain yang
lebih kritikal dari sumberdaya dan aset, yaitu kemampuan mengelola. Kualitas
sumberdaya manusia yang baik bila dipadukan dengan kemampuan dan penguasaan
teknologi yang maju akan memberikan peluang yang lebih besar bagi seseorang
atau sekelompok masyarakat untuk menemukan alternatif pendayagunaan sumberdaya
dan aset yang dimilikinya secara lebih efisien sehingga hasil yang dicapai
menjadi lebih optimal.
Jumlah aset yang
dimiliki sebelumnya (initial assets)
merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Dengan
pemilikan aset yang lebih baik, individu atau kelompok masyarakat tertentu akan
memiliki peluang yang lebih baik dan kemudahan yang lebih banyak dalam
pelaksanaan pembangunan. Selanjutnya hasil pembangunan dapat berkontribusi
pada pembentukan aset yang lebih baik. Kenyataan inilah yang
melatarbelakangi munculnya problema lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty).
Orang-orang miskin
umumnya tidak memiliki aset yang baik dan kemampuan mereka sangat terbatas. Meskipun
sumberdaya di sekitar mereka kadangkala melimpah, tapi penguasaan mereka
terhadap sumberdaya tersebut sangat terbatas. Konsekuensinya, dalam upaya
dan aktifitas pembangunan yang mereka laksanakan mereka menjadi jauh
tertinggal, dibandingkan kelompok masyarakat lain yang mempunyai kemampuan,
aset dan pengusaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi ini terus berlanjut
berjalan ke arah pelebaran gap kaya miskin, karena yang kaya akan semakin kaya
karena hasil pembangunan mereka lebih baik, sementara yang miskin akan semakin
tertinggal karena pembangunan yang dijalankannya berjalan jauh lebih lambat.
Aktifitas pembangunan
ini dapat dilakukan oleh seorang individu, sekelompok masyarakat, sebuah
komunitas masyarakat dalam suatu wilayah propinsi, negara atau bahkan juga
komunitas international. Dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh
sekelompok masyarakat atau kumpulan komunitas yang lebih luas, secara umum cenderung
mempunyai kekuatan yang lebih besar dan karenanya juga memiliki implikasi yang
lebih luas. Hal ini karena dalam aktifitas pembangunan mereka kemampuan,
aset dan sumberdaya dipadukan. Meskipun demikian sinkronisasi diperlukan
dalam aktifitas ini sehingga perbedaan yang ada di antara individu-individu
anggota kelompok tersebut tidak membesar dan berkembang menjadi konflik yang
tidak menguntungkan bagi aktifitas pembangunan.
Dilatarbelakangi oleh
kenyataan bahwa setiap individu ingin perbaikan dalam kehidupannya, dan bahwa
keinginan individu-individu tersebut berbeda-beda tergantung kebutuhannya
masing-masing, maka tujuan pembangunan juga berbeda-beda. Aktifitas
pembangunan yang melibatkan lebih dari satu individu memerlukan suatu perekat
untuk mengkoordinasikan segenap aktifitas secara sinergis. Perekat
tersebut lazimnya berupa tujuan yang sama. Bila tujuan yang sama dapat
diangkat menjadi tujuan bersama, maka kemudian akan mudahlah melakukan
koordinasi untuk memadukan segenap sumberdaya, aset dan kemampuan yang dimiliki
dalam kelompok tersebut untuk mencapai hasil pembangunan yang optimal.
Referensi :